Kamis, 06 Oktober 2011

ILMU TAUHID ILMU KALAM

MUHAMMAD YAZAR ZEEN TANJUNG

Oleh: Mohammad Adlany
Apa yang dimaksud dengan wahdatul wujud? Ragam benda yang berada pada sekumpulan yang memiliki sebuah nama dan nama tersebut juga dengan sesuatu yang lain pada himpunan yang lain menjadi satu nama (yang lain) sehingga pada akhirnya segala sesuatu berada pada satu nama yaitu alam semesta. Akan tetapi, semesta bukan merupakan satu wujud. Lantaran dari satu sisi dikarenakan dua sifat kemahakuasaan dan kepenciptaan Tuhan alam semesta senantiasa berkembang. Kedua, alam semesta dapat dibagi. Alam semesta terbagi menjadi alam non-materi dan materi. Alam non-materi (mujarrad) terbagi menjadi para malaikat dan ruh hingga sampai pada satu per satu malaikat yang tidak dapat terbagi lagi. Adapun alam materil, pembagian ini terus menerus berulang hingga sampai pada materi pertama yang membentuk alam semesta sehingga tidak dapat terbagi lagi. Namun juga tidak terdapat kesatuan (al-wahdat) di antara mereka. Karena tatkala salah satu dari hal yang tak-terbagi ini kita letakkan satu dengan yang lain maka akan membentuk sesuatu yang lain; artinya ia dapat dirangkap.
Akan tetapi, Tuhan adalah Mahakuasa tidak terbagi juga tidak berangkap. Dia adalah Esa dan sekali-kali tidak akan menjadi dua. Dia adalah universal dan sekali-kali tidak akan menjadi partikular. Ia tidak beranak dan juga tidak diperanakkan. Dia tiada Tuhan selain-Nya (Allah). Keesaan hanya terkhusus bagi-nya. Dan makhluk-Nya sekali-kali tidak akan pernah sampai pada kedudukan ini.
Maksud para arif dan filosof terkait dengan wahdatul wujud bukanlah konsep bahwa keseluruhan semesta ini adalah Tuhan; karena keseluruhan tidak memiliki wujud dan kesatuan (al-wahdat) hakiki. Wahdatul wujud juga bukanlah ittihad (persatuan) antara Tuhan dan seluruh entitas lantaran ittihad (dalam artian bahwa terdapat dua hal yang tanpa menghilangkan identitasnya dan dualitasnya kemudian menjadi satu) adalah suatu hal yang mustahil. Demikian juga wahdatul wujud ini tidak bermakna tajâfi (tidak mendiami suatu ruang atau tempat tertentu sehingga dikatakan bersama dengan manifestasi-Nya) atau talabbus (menutup selain-Nya sehingga tidak nampak identitas dan hakikat manifestasi-Nya).  
Yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa keberadaan dan wujud itu hanya terbatas pada Dzat Allah Swt; segala sesuatu selain Allah merupakan jelmaan dan manifestasi keberadaan-Nya; hal ini bermakna bahwa Allah Swt adalah Keberadaan dan Wujud murni. Kuatnya intensitas dan kesempurnaan wujud-Nya menjadi sebab kecintaan-Nya untuk menjelma dan memanifestasi. Dzat Allah Swt adalah cinta (isyq) dan mahabba itu sendiri. Dan hal yang paling dicintai di sisi-Nya adalah menyaksikan Dzat-Nya sendiri dengan jalan menyaksikan jelmaan-jelmaan Dzat-Nya sendiri yang disebut sebagai “istijlâ” (menjelmanya Dzat Allah Swt untuk Dzat-Nya sendiri dalam entifikasi).
Istijlâ total tidak akan terlaksana kecuali dengan penampakan-Nya pada setiap jelmaan. Dengan kata lain, yang dimaksud dengan wahdatul wujud adalah bahwa wujud pada saat ia adalah satu dan esa akan tetapi berbilang, banyakdan beragam. Seperti jiwa manusia yang satu karena jelas bahwa setiap orang tidak lebih dari satu orang akan tetapi pada saat yang sama ia memiliki pelbagai fakultas baik itu fakultas lahir atau fakultas batin (segala afeksi, digestif, berkembang, melahirkan) adalah satu dimana jiwa adalah fakultas itu sendiri dan fakultas adalah jiwa itu sendiri. Karena itu, wahdatul wujud dengan interpretasi yang benar ini tidak berseberangan dengan menjuntainya alam semesta dan juga tidak bertentangan dengan banyaknya dan beragamnya eksisten dan entitas.

Untuk menjelaskan persoalan ini terdapat beberapa poin yang mesti diperhatikan:
A.     Pengertian kesatuan (al-wahdah)
Definisi dan pengertian “kesatuan” menurut pandangan para filosof adalah bersifat aksiomatik, gamblang, dan tidak membutuhkan pendefinisian. Karena mereka berkeyakinan bahwa “kesatuan” setara dan identik dengan “wujud”, dan pendefinisiannya adalah mustahil sebagaimana pendefinisian “wujud”, kecuali berujung pada pendefinisian yang bersifat “lingkaran setan” (daur) atau pendefinisian sesuatu dengan perantaraan dirinya sendiri.[1]

B.    Pembagian kesatuan
Para filosof menguraikan tentang jenis-jenis “kesatuan” atau “satu” (al-wâhid): Kesatuan terbagi menjadi hakiki dan non hakiki. Kesatuan hakiki dikatakan pada sesuatu apabila kesatuan itu adalah sifat dari zatnya dan hubungannya dengan kesatuan bukanlah bersifat predikat, seperti manusia satu. Kesatuan non hakiki adalah sesuatu yang kesatuan itu adalah bukan sifatnya, namun bersifat predikat, seperti manusia dan kuda yang memiliki kesatuan dalam kehewanan.[2]
Kesatuan hakiki ada yang bersifat esensial (zati) yang merupakan kesatuan itu sendiri; ini tidak lain adalah wujud murni yang tidak memiliki sekutu dan tidak berulang (dalam wujudnya), disini “satu” dan “kesatuan” adalah sama. Kesatuan hakiki ini yang dinamakan “kesatuan mutlak”. Begitu pula, kesatuan hakiki ada yang bersifat non esensial yang bukan merupakan kesatuan itu sendiri, akan tetapi tersifati dengan kesatuan, seperti manusia satu. Jenis ini disebut sebagai “kesatuan non mutlak”.
Kesatuan non mutlak ini juga terbagi menjadi “kesatuan khusus” dan “kesatuan umum”. “Kesatuan khusus” adalah satu bilangan yang dengan pengulangannya akan terbentuk suatu bilangan. “Kesatuan umum” seperti kesatuan dalam species atau kesatuan dalam genus. “Kesatuan khusus” juga terbagi menjadi, sebagaimana dari aspek sifat kesatuan itu tidak dapat terbagi-bagi, tidak dapat terbagi-bagi dari dimensi bahwa dia tersifati dengan kesatuan atau dapat terbagi-bagi dari sisi dia tersifati dengan kesatuan. Bentuk pertama dari “kesatuan khusus” ini juga terbagi: sebatas makna kesatuan itu sendiri dan tidak terbagi-bagi ataukah selain itu. Dan yang selain itu, apakah tidak dapat diisyaratkan dengan suatu keadaaan ataukah dapat diisyaratkan dengan suatu kondisi. Yang tidak bisa diisyarahkan dengan suatu keadaan terbagi menjadi: tidak bisa diisyaratkan dengan materi seperti jiwa yang dari aspek perbuatan terkait dengan materi ataukah seperti akal yang mutlak (dari sisi zat dan perbuatan) tidak terkait dengan materi. Bentuk kedua dari “kesatuan khusus” itu, yakni dapat terbagi-bagi dari aspek tersifati dengan kesatuan, juga terbagi menjadi: keterbagian itu bersifat substansial seperti kuantitas atau ukuran yang satu ataukah keterbagian itu bersifat aksidental seperti materi alami yang satu yang dari aspek ukurannya dapat menerima pembagian.
“Kesatuan umum” terbagi menjadi: kesatuan umum dari aspek makna ataukah kesatuan umum dari aspek keluasan wujud seperti “wujud munbasith” (wujud yang mencakup segala sesuatu). Bagian pertama dari “kesatuan umum” ini juga terbagi menjadi: kesatuan dalam species seperti manusia ataukah kesatuan dalam genus seperti hewan ataukah kesatuan dalam aksiden seperti berjalan dan tertawa.
Kesatuan non hakiki adalah sesuatu itu tersifati dengan kesatuan dari aspek kesamaannya dengan yang lain seperti Hasan dan Husain memiliki kesatuan dari aspek kemanusiaan atau manusia dan kuda memiliki kesatuan dari aspek kehewanan.[3]
Kiranya urgen kita menyebutkan satu poin di sini bahwa dalam perspektif Hikmah Muta’aliyah (Filsafat Mulla Sadra) “kesatuan mutlak” itu terbagi dua:
  1. Kesatuan mutlak hakiki;
  2. Kesatuan mutlak bayangan.[4]
Pembagian ini adalah untuk membedakan antara penisbahan kesatuan mutlak kepada Zat Yang Maha Suci dan penisbahan itu kepada selain-Nya. Yakni kesatuan mutlak hakiki terkhusus kepada Zat Suci Tuhan, dan segala realitas selain-Nya menggunakan istilah kesatuan mutlak bayangan.

C.    Kesatuan mutlak
Salah satu persoalan yang paling mendasar yang terkait dengan penerimaan konsep “kesatuan wujud” (wahdatul wujud) adalah masalah kesatuan mutlak atau “kesatuan dalam kejamakan” (wahdat dar aini katsrat) dan “kejamakan dalam kesatuan” (katsrat dar aini wahdat). Yakni harus dilihat bahwa bagaimana sesuatu yang satu itu pada saat yang sama juga memiliki kejamakan atau sesuatu yang jamak pada saat yang sama juga memiliki kesatuan, bagaimanakah akal manusia bisa menerima hal ini dan tidak memandangnya sebagai realitas yang saling berlawanan?
Salah satu jalan yang terbaik untuk menguraikan dan menjelaskan permasalahan ini (berkumpulnya antara kesatuan dalam kejamakan dan kejamakan dalam kesatuan) adalah kaidah basithul hakikah.[5] Menurut Allamah Hasan Zadeh Amuli, salah satu keajaiban kaidah ini adalah puncak perbedaan salah satu sisi merupakan dalil atas keberadaan sisi yang berlawanan, karena puncak ketunggalan dan kesatuan menyebabkan menjadi puncak kejamakan dan keragaman. Sebagaimana keajaiban lain dari kaidah ini adalah basithul hakikah yakni dia adalah segala sesuatu pada saat yang sama dia juga bukanlah sesuatu itu. Yang pasti, “dia adalah segala sesuatu itu” dari aspek aktualitas segala sesuatu dan “dia bukanlah sesuatu itu” dari aspek kelemahan dan keterbatasannya; ini tidaklah saling bertolak belakang.[6]
Dalam penjelasan yang lain, Allamah juga menyatakan, “Dari kalimat para urafa  dapat diungkapkan bahwa puncak kesempurnaan setiap sifat adalah memiliki kemampuan untuk tidak sirna dan lemah dihadapan sesuatu yang berlawanan dengannya, bahkan dalam proses yang terus menyempurna dan menguat dengan kejamakan itu. Oleh karena itu, dalam al-Quran dan hadis-hadis yang terkait dengan pernikahan nama-nama dan sifat-sifat Ilahi terdapat makna-makna yang saling berlawanan seperti dalam Asmaul Husna (Nama-nama Jamaliyah Tuhan), Dia Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu, begitu pula Dia Yang Lembut dan Yang Memaksa, Dia Yang Memberikan Keuntungan dan Yang Memberikan kerugian, Dia Yang Maha Menjauhkan dan Yang Maha Mendekatkan, Dia Yang Maha Meninggikan dan Yang Maha Merendahkan, Dia Yang Maha Memberikan Petunjuk dan Yang  Maha Menyesatkan. “Kesatuan mutlak hakiki” ini juga dinamakan sebagai “kesatuan total”, dan kejamakan ini disebut dengan kejamakan cahaya.

D.    Manifestasi dan tajalli
Dapat disimpulkan bahwa kunci utama penyelesaian teka teki konsep “kesatuan wujud” harus dicari dalam permasalahan manifestasi dan tajalli. Perkara manifestasi dan tajalli merupakan masalah-masalah utama ilmu irfan. Masalah ini hadir dalam segala persoalan-persoalan irfan dan memiliki posisi kunci. Posisi ini sedemikian pentingnya sehingga ketika dipahami secara benar bisa dikatakan telah mengetahui pondasi dan asas irfan. Problematika lain irfan hanyalah hasil dan cabang dari masalah itu.[7] Dengan dasar inilah, Sadruddin Syirazi alias Mulla Sadra ketika menisbahkan persoalan kausalitas (al-‘illiyah) itu kepada masalah manifestasi dan tajalli dia mengumumkan bahwa penemuan baru ini mengantarkan filsafat pada kesempurnaan.[8]

E.     Penjabaran konsep manifestasi dan tajalli
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa ontologi dan kosmologi irfan didasarkan pada sistem manifestasi dan tajalli. Dapat diuraikan bahwa berasaskan ilmu irfan, wujud itu hanya khusus dialamatkan pada Tuhan, selain Tuhan merupakan manifestasi, bayangan, citra, tajalli Tuhan. Dengan penjelasan: Tuhan merupakan wujud murni. Intensitas dan kesempurnaan wujud-Nya lah yang menyebabkan kecintaan akan manifestasi dan tajalli. Zat Suci Tuhan tidak lain adalah cinta dan mahabbah itu sendiri, dan seseatu yang paling dicintai di sisi Tuhan adalah memandang Zat-Nya sendiri melalui manifestasi-manifestasi-Nya yang dalam istilah dinamakan istijla (yakni menjelmanya Zat Tuhan untuk Zat-Nya sendiri dalam entifikasi). Dan istijla sempurna tidak akan hadir kecuali kehadiran-Nya dalam setiap manifestasi dari bayangan-bayangan.[9]
Para urafa berkeyakinan bahwa tingkatan zat (sebelum manifestasi) adalah gaibul guyub (kegaiban mutlak) yang berada dalam “ketersembunyian” dan kegaiban murni.[10] Manifestasi pertama dan tingkatan pertama tajalli tidak lain dalah manifestasi Zat Suci Tuhan untuk Zat-Nya yang dalam istilah dikatakan “kesatuan mutlak hakiki”. Seorang arif “menyingkap” kesatuan mutlak hakiki ini dari sudut pandang kegaiban mutlak Tuhan dengan tanpa memandang nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Kesatuan mutlak hakiki ini tidak jauh berbeda dengan tingkatan ghaibul guyub dan Identitas Mutlak, yakni terletak di antara batas manifestasi dan non manifestasi, oleh karena itu[11]:
  1. Tidak dikatakan dalam tingkatan manifestasi, bahkan dia terkadang dinamakan sebagai Identitas Mutlak;
  2. Tidak ada sesuatu pun yang ada dihadapan-Nya dan Dia “mengandung” segala sesuatu. Di samping Dia hadir dalam batin Dia juga hadir dalam lahir, dengan demikian Dia memiliki dua wajah, lahir dan batin. Wajah batin itu dikatakan tingkatan ahadiyah, yakni Tuhan memandang Diri-Nya sendiri dalam keadaan memiliki segala sifat dan nama Ilahi dengan tanpa manifestasi terperinci yakni dalam kondisi basith (melihat yang terperinci dalam keadaannya yang tunggal). Sedangkan wajah lahir kesatuan hakiki tersebut dinamakan tingkatan wâhidiyah yang tidak lain adalah maqam manifestasi nama-nama dan sifat-sifat, yakni Tuhan menyaksikan Zat-Nya sendiri dalam keadaan mempunyai semua nama dan sifat dalam bentuknya yang terperinci (menyaksikan yang tunggal dalam keadaannya yang terperinci). Maqam wâhidiyah inilah sebagai sumber hadirnya kejamakan dan keragaman di alam. Kejamakan ini pada awalnya hadir dalam bentuk ilmu, yakni karakteristik dari nama dan sifat Ilahi serta realitas-realitas eksternal (segala sesuatu selain Tuhan yang terwujud di alam eksternal) mendapatkan kehadirannya dalam bentuk ilmu, dan karena hadir dalam bentuk ilmu maka tidak terdapat kejamakan hakiki dan dualisme wujud seperti Yang Mencipta dan yang tercipta. Para urafa menyatakan bahwa segala sesuatu yang hadir dalam bentuk ilmu adalah dengan perantaraan faidhul aqdas (emanasi paling suci), yakni paling suci dari sifat-sifat kejamakan. Kemudian segala sesuatu dari nama-nama dan sifat-sifat Ilahi mendapatkan kehadirannya secara eksternal yang disebabkan oleh faidhul muqaddas (emanasi suci). Faidhul muqaddas ini juga dinamakan sebagai faidhul munbasith, nafasurrahman, ruhul muhammad (nur muhammadi), dan makhluk pertama yang dicipta oleh Tuhan. Walaupun Faidhul muqaddas merupakan realitas yang satu dan tunggal, sebagaimana kaidah al-wâhid (yakni realitas yang tunggal hanya terwujud dan terpancar dari yang tunggal juga), dan seperti Tuhan sebagai Yang Awal dan sekaligus Yang Akhir serta tidak terdapat satupun sekutu bagi-Nya, maka begitu pula tidak terdapat dua atau tiga Faidhul muqaddas, karena dia tidak lain adalah manifestasi dari Yang Awal dan Akhir serta Yang Lahir dan Yang Batin. Akan tetapi, dari aspek manifestasi-manifestasi terdapat tiga alam yang berada dalam cakupannya, antara lain: 1. Alam arwah (akal), 2. Alam mitsal, dan 3. Alam materi.[12]

Bagaimanapun, dalam perspektif irfan, karena zat Tuhan tersifati dengan kesatuan hakiki dan kemutlakan hakiki, maka zat Tuhan dipandang sebagai prinsip fundamental dalam irfan, maka konsekuensinya adalah kehadiran Tuhan di dalam semua kejamakan dan keragaman realitas. Dan kehadiran Tuhan ini tidak bersifat aksidental, melainkan kehadiran yang bersifat eksistensial dalam kejamakan itu sendiri. Dengan demikian, berdasarkan hukum kemutlakan wujud Tuhan, Dia hadir dalam kejamakan secara eksistensial dan hakiki. Namun, kehadiran eksistensi-Nya yang mutlak berdasarkan kemutlakan itu sendiri tidaklah menyirnakan kejamakan dan keragaman realitas selain-Nya.
Dengan ungkapan lain, irfan teoritis dalam mengupas dan menganalisa kejamakan realitas yang ada mencoba mengusulkan teori manifestasi. Kejamakan dan keragaman dalam sistem eksistensi ini tidak lain adalah manifestasi, bayangan, citra, dan tajalli dari sifat dan nama Tuhan. Yang dimaksud dengan Manifestasi disini adalah kehadiran mutlak Ilahi dari maqam kemutlakannya sendiri (yakni maqam tanpa syarat, sifat, dan nama, atau maqam gaibul guyub) dan “berpakaian” dengan keterbatasan-keterbatasan. Perlu dikatakan bahwa kehadiran mutlak Ilahi, dari maqam kemutlakannya sendiri (yakni maqam tanpa syarat, sifat, dan nama, atau maqam ghaibul guyub) turun ke maqam “keterbatasan”, tetap dalam wilayah kemutlakan-Nya yang mutlak namun dalam kondisi yang telah terbatasi, bukan suatu kemutlakan yang berlawanan dengan keterbatasan sehingga tergambar adanya dua realitas hakiki yang berbeda.
Zat Tuhan dalam maqam kemutllakan-Nya memiliki segala realitas dan kejamakan, akan tetapi kejamakan ini dalam tingkatan zat Tuhan tidak tergambar adanya perlawanan satu sama lain secara terperinci. Yakni apabila zat mempunyai sifat Yang Maha Menunjukkan (al-Hadi), maka tidak bisa dikatakan bahwa lawan dari sifat al-Hadi itu yakni al-Mudhil (Yang Maha Menyesatkan) tidak terdapat dalam zat-Nya, melainkan zat Tuhan dari sisi kemutlakan hakiki-Nya (tidak terkait dengan nama dan sifat apapun) mempunyai kedua nama al-Hadi dan al-Mudhil ini, dengan penekanan bahwa dalam maqam zat dengan hukum kemutlakan-Nya itu tidak tergambar sama sekali adanya suatu kejamakan. Nama-nama dan kejamakan-kejamakan itu hadir dalam bentuk yang tunggal dan “padat”, bukan dalam bentuknya yang terperinci dan saling berlawanan. Ketika yang tunggal itu menjadi terperinci dan yang “padat” itu menjadi terpancar maka saat itu pulalah terbentuk suatu proses manifestasi dan tajalli. Oleh karena itu, satu hakikat memiliki satu tingkatan “pasif” yang berbentuk “padat” dan menyatu dengan hakikat-hakikat lain dan juga memiliki satu tingkatan pancaran yang akan hadir secara berlawanan dengan nama-nama dan sifat-sifat yang lain.
Perlu ditambahkan bahwa kesatuan hakiki, pada saat yang sama “mengalir” (ber-tajalli) dalam kejamakan, pada tingkatan zat, tidak bersama dan lebih tinggi dari “aliran” (tajalli) itu, karena sebagaimana yang lalu bahwa Tuhan pada tingkatan zat-Nya tidak memiliki sekutu dan lawan sehingga perlu dibahas tentang “aliran” (tajalli) dan tiadanya “aliran”. Namun, ketika Zat Mutlak itu sendiri berdasarkan kemutlakannya dan berada pada posisi di atas “aliran” akan ber-tajalli dalam batasan-batasan dan identitas-Nya akan mengaktual dalam manifestasi serta Diri-Nya Sendiri merupakan salah satu nama dari nama-nama-Nya.[13]

Jiwa Manusia, Contoh Kesatuan Mutlak
Banyak contoh yang bisa digunakan untuk menjelaskan tentang kesatuan wujud dan sistem manifestasi, salah satu contoh yang paling sempurna adalah jiwa manusia. Berdasarkan Hikmah Muta’aliyah, “kesatuan jiwa” adalah sejenis dengan “kesatuan mutlak bayangan”. Hubungan antara jiwa dan fakultas-fakultasnya sejenis hubungan dan koneksi iluminatif. Fakultas dan indera jiwa merupakan manifestasi yang beragam dari jiwa yang satu. Kesatuan ini tidak hanya tidak bertentangan dengan kejamakan, bahkan ketika kesatuan itu semakin kuat intensitasnya maka semakin luas dia meliputi keragaman dan kejamakan itu. Karena jika wujud itu semakin kuat intensitasnya, maka kesatuan dan ketunggalannya akan semakin kuat, keluasannya pun akan semakin sempurna, dan semakin kuat menyatu dengan banyak kejamakan. Dengan ungkapan lain, sebagaimana gerak menyempurna jiwa akan berpengaruh pada intensitas persatuannya dengan fakultas dan indera serta menambah keluasan wujudnya. Setiap kali jiwa mencapai kesempurnaan yang semakin tinggi maka kesatuannya akan semakin menguat dan keluasan wujudnya pun akan semakin bertambah.[14]
Filosof Ilahi Mulla Hadi Sabzawari dalam ulasannya atas kitab Asfar menyatakan, “Maksud dari kesatuan jiwa dan fakultas-fakultasnya adalah bukan bermakna bahwa jiwa adalah kumpulan dari fakultas-fakultas itu, karena kumpulan dan gabungan tidak memiliki eksistensi dan kesatuan hakiki. Begitu pula, jiwa dan fakultas-fakultasnya tidak mengalami persatuan (al-ittihad), karena persatuan (makna persatuan adalah dua sesuatu yang bergabung menjadi satu yang masing-masing dari keduanya tidak kehilangan identitas dan hakikat kediriannya pasca penggabungan) untuk kasus jiwa adalah mustahil, begitu pula jiwa tidak akan mengalami perpindahan (perpindahan yang sebagaimana dialami oleh suatu benda) dari satu tingkat ke tingkat lainnya, melainkan yang dimaksud adalah jiwa meliputi dan bersama dengan semua tingkatan, ketika jiwa berada pada tingkatan yang rendah maka tidak berarti dia meninggalkan tingkatannya yang tinggi. Sewaktu jiwa tersifati dengan akhlak yang tinggi, maka dia pun tidak kehilangan tingkatannya yang rendah. Dan yang dimaksud juga adalah jiwa memiliki kesatuan mutlak bayangan yang bisa dipredikasikan dengan beragam makna yang tinggi dan rendah dengan tidak bertentangan sedikitpun dengan kesatuannya.”[15]
Berkaitan dengan kesatuan jiwa dengan fakultas-fakultasnya, Sadrul Muta’allihin mengungkapkan, “Dari satu dimensi kita memiliki ilmu intuitif atau ilmu fitriah yang menegaskan bahwa jiwa dan zat kita adalah tunggal dan satu. Kita mengetahui bahwa sesuatu terdapat pada kita yang mencerap universalitas itu sebagaimana dia mengetahui yang partikularitas, darinya muncul keinginan dan kehendak, marah, dan sebagainya. Dari sisi lain tidak bisa dikatakan bahwa kesatuan jiwa dengan fakultas-fakultasnya sejenis kesatuan komposisi dan kombinasi seperti hubungan antara komandan dengan prajurit atau hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya, melainkan mesti dikatakan bahwa jiwa dan seluruh fakultasnya memiliki kesatuan alami dengan manifestasi yang berbeda-beda.”[16]
Filosof Ilahi, Ali Mudarris Zanury, pemilik kitab Badayi’ul Hikam, dalam komentarnya terhadap kita Asfar menerangkan secara sempurna dan indah tentang kesatuan jiwa tersebut. Dia menjelaskan, “Kesatuan jiwa yang tidak lain adalah eksistensi jiwa itu sendiri merupakan bentuk khusus dari kesatuan, dan kesatuan itu bersifat menyeluruh yang mencakup keseluruhan manifestasi dari wujud sedemikian sehingga dapat dipolakan sebagaimana “kesatuan dalam kejamakan” dan “kejamakan dalam kesatuan”. Jika jiwa dipandang dari aspek zatnya sendiri dan kesempurnaan akhirnya maka dia memiliki eksistensi yang satu, dan kalau dilihat dari aspek perbuatan-perbuatannya sendiri maka dia tidak lain adalah zat itu sendiri dalam wajah perbuatan dan perilakunya yang memilki eksistensi yang berbeda, terpisah, beragam, dan jamak. Dengan demikian, jiwa dalam hakikat zatnya sendiri tidak tersifati dengan keterkumpulan dan keterpisahan, dia jauh dari dua sifat ini. Misalnya, sumber wujudnya adalah salah satu dari tingkatan-tingkatan yang ada yang mendahului dari sisi zaman namun terbelakang dari dimensi zat. Tingkatan-tingkatan terdahulunya dari aspek zat tidak lain adalah tingkatan-tingkatan terbelakang zat, walaupun dari dimensi derajat-derajat menaik dan menurun bukanlah zat itu sendiri. Jadi, jiwa dalam ketinggian maqamnya ada di alam yang rendah dan di alam yang rendah ini tetap dalam maqamnya yang tinggi. Dalam kerendahan alam materi dia suci dan dalam kesuciannya dia berada di alam yang rendah ini. Dalam keterkaitannya  dengan materi dia sendiri bersifat nonmateri dan dalam kenonmateriannya dia terikat dengan materi. Jiwa bersama dengan cabang-cabang perbuatannya, namun tidak seperti kebersamaan sesuatu dengan sesuatu. Begitu pula, dia terpisah dari segala perbuatan dan perilakunya akan tetapi tidak seperti keterpisahan sesuatu dari sesuatu. Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri maka dia akan mengetahui Tuhannya. Ini tidak lain adalah rahasia-rahasia ketauhidan yang terkadang disebut oleh para Imam Ahlulbait Nabi Alaihimussalam sebagai “perkara di antara dua perkara” (in between) atau berada di antara kutub penyerupaan (tasybih) mutlak dan kutub pensucian (tanzih) mutlak.”[17] [Terjemahan makalah Ayatullah Hadawi Tehrani]

[1]. Asfar, jil. 2, hal. 83. Allamah Thabathabai ra, Nihayatul Hikmah, hal. 138. Resoley-e Wahdat as Didgoh-e ‘Oref  wa Hakim,  dar majmue-ye yozdah risale-ye farsi, hal. 27; Ayatullah Jawad Amuli, Rahiq Makhtum, jil. 7, hal. 25, Markaz Nasyr Isra’, cetakan kedua, 1382 Hs.
[2] . Nihayatul Hikmah, hal. 141; Rahiq Makhtum, jil. 7, hal. 27.
[3] . Nihayatul Hikmah, hal.141.
[4]. Sabzewari, Mula Hadi, Syarhul Manzumah, jil. 5, hal. 181, Tashhih wa Ta’liq, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Nasyr Nab, cetakan pertama, 1422 Hq, Teheran
[5] . Sabzewari, Mula Hadi, Syarh Manzumah, jil. 2, hal. 287-592.
[6] . Ibid, hal. 600.
[7] . Rujuklah, Rahimiyan, Muhammad Hasan, Tajalli wa Zuhur, hal. 14, Intisyarat Daftar Tablighat, cetakan pertama, Musim Panas 1376, Qom.
[8] . Al-Asfar Al-Arba’ah, jil. 2, hal. 291-294.
[9] . Dikutip dari kitab Yozdah Resole-ye Farsi, Resole-ye Wahdat az Didgoh-e ‘Oref wa Hakim, Ustad Ayatullah Hasan Sodeh Amuli, hal. 30.
[10] . Secara lahiriah tidaklah bermakna bahwa Zat tidak bertajalli untuk Zat, melainkan yang dimaksudkan adalah selain dari manifestasi Zat untuk Zat, dia tidak memiliki manifestasi dinisbahkan dengan tingkatan-tingkatan lain, jika tidak demikian maka mesti kita terima bahwa dalam tingkatan itu, Zat bahkan tidak memiliki manifestasi untuk diri-Nya sendiri, sementara manifestasi Zat untuk Zat merupakan kemestian esensial Zat tersebut. Dengan dasar ini (yang dimaksud adalah kegaiban itu dinisbahkan kepada selain Zat) begitu banyak ungkapan mengenai manifestasi Zat untuk Zat yang disebut dengan kesatuan mutlak hakiki tidak mereka golongkan sebagai salah satu tingkatan-tingkatan manifestasi dan terkadang mereka namakan sebagai Identitas Mutlak karena mereka memandang bahwa Zat itu masih dalam kegaiban dan ketersembunyian. Banyak dalil atas perkara ini:
  1. Sa’iduddin Fargani menyatakan: keniscayaan Zat adalah secara mutlak memanifestasikan Diri-Nya dalam Diri-Nya, yakni Diri-Nya bertajalli atas Diri-Nya Sendiri dan Dia mendapatkan Diri-Nya Sendiri serta hadir dengan Diri-Nya Sendiri dan sirnalah kegaiban. Dan manifestasi itu bersama dengan pengetahuan-Nya akan kesempurnaan esensialnya sendiri yang memestikan kekayaan mutlak. (Fargani, Sa’iduddin, Masyariqud Darary, hal. 123, dengan mukadimah dan pengoreksian dari Sayid Jalaluddin Asytiyani, cetakan kedua, Markaz Intesyarat Daftar Tabligat Qom, 1379, Qom.)
  2. Ustad Jalaluddin Asytiyani menyatakan: Ibn Hamzah Fannari mengutip dari Muntaha Allamah (Qaishari), “ Kesatuan hakiki adalah manifestasi pertama itu sendiri yang melahirkan dua wajah, ahadiyah dan wahadiyah. Ahadiyah adalah tiadanya nama dan sifat secara menyeluruh dan disebut dengan Zat, Dia terkait dengan batinnya Zat, keazalian dan hubungannya yang tepat adalah penegasian.” Ustad Jalauddin kemudian menjelsakan: Karena kemutlakan di sini bukanlah syarat bahkan nota bene menafikan seluruh syarat termasuk syarat kemutlakan itu sendiri, oleh karena itu bentuk “kemutlakan” ini disebut oleh para urafa masa kini Iran sebagai “la bi syart maqsami” (juga halaman 122).
Atau yang dimaksud berdasarkan pandangan seorang arif dan berpijak pada argument akal adalah para urafa menyatakan -untuk mengoreksi secara sistimatis menurut pandangan mereka dan memudahkan penggambaran tingkatan-tingkatan- kami menekankan Zat itu denga tidak memandang manifestasi esensial Zat untuk Zat
[11]. Jawadi Amuli, Abdullah, Tahrir Tahmid Al-Qawaid, hal.422  
[12] . Jawadi Amuli, Abdullah, Tahrir Tahmid Al-Qawaid, hal. 195-209, 419-428, dan 470-484; Hasan Zadeh Amuli, Hasan, Insan Kamil az Didgoh-e Nahjul Balaghah, hal. 106, 108, 109, 160, Intisyarat Qiyam, Qom, cetakan pertama, 1372; Rasail Qaishari bo Ta’liqat-e Asytiyani, hal. 6 – 55, Syarh Qaishari Fushushul Hikam
[13] . Fadhili, Sayyid Ahmad, Maqalah Nedzam Wareh Tajalli, Majalah Fashlnameh Pazyuhesy-hoye Falsafi wa Kalami, hal. 163 – 166, dengan sedikit perubahan.        
[14]. Sesungguhnya wujud itu ketika semakin kuat intensitasnya maka ketunggalannya pun akan semakin kuat. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 9, hal. 61- 63.
[15]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 8, catatan kaki hal. 221.
[16]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 9, hal. 61-63.
[17]. Al-Asfarul Arba’ah, jil. 8, catatan kaki hal. 2 dan 3 . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar